Bahrul Ulum dan Sepuluh Bulan di New York
Minggu (5/12) malam, saya mengabarinya untuk melakukan wawancara. Lalu, ia memberitahu kalau mau berlatih bulutangkis di dekat rumahnya di Makassar. Jadi, saya menawarkan wawancaranya diundur agak lebih malam. Untungnya, ia mengiyakan. Akhirnya, Bahrul Ulum berbagi cerita dengan saya tentang pengalamannya saat melakukan pertukaran pelajar di AS beberapa waktu lalu.
Bahrul Ulum (atau biasa dipanggil Arul) adalah lulusan Kennedy-Lugar Youth Exchange and Study (KL-YES) Program angkatan 2019. Program tersebut merupakan pertukaran pelajar yang diselenggarakan oleh Pemerintah Amerika Serikat secara gratis kepada pelajar SMA se-Indonesia yang berprestasi secara akademik maupun non-akademik. Selama di SMA, ia memiliki beberapa pencapaian dan pengalaman. Arul menjadi anggota Pimpinan Ranting Ikatan Pelajar Muhammadiyah MA Mu’allimin Yogyakarta selama 2 periode. Periode pertama ia menjadi anggota bidang Perkaderan. Pada periode yang kedua, ia ditetapkan sebagai Ketua Umum. Selain itu, Arul juga sempat mengikuti Forum Pelajar Indonesia Ke-10 oleh ISYF sebagai delegasi dari Provinsi DIY.
Arul menjalani program tersebut selama 10 bulan — sedikit maju dari waktu kepulangan yang ditentukan karena pandemi Covid-19 — di New York, tepatnya di Kota Scio. Saya rasa, pengalaman menjalani pertukaran pelajar adalah satu hal istimewa dalam hidup Arul. Terlihat dari antusiasmenya selama wawancara berlangsung.
Jauh sebelum keberangkatan, tepatnya saat masih SD, Arul sama sekali tak punya ekspektasi untuk bisa pergi ke luar negeri. Ia mengakui bahwa pergi ke luar negeri adalah hal yang sangat keren sehingga cukup sulit diraih. Beranjak ke SMP, Arul mendapati lingkungan yang berbeda jauh ketimbang kampung halamannya. Laki-laki kelahiran 5 Januari 2003 tersebut merantau ke Yogyakarta untuk bersekolah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Kehidupan pesantren mendatangkan hal baru kepadanya. Satu waktu, kakak kelasnya berkesempatan untuk melakukan pertukaran pelajar ke Italia. Sejak mengetahui kabar tersebut, keinginannya untuk ‘sekadar’ pergi ke luar negeri membuncah. Baginya, menjadi siswa exchange adalah hal yang sangat keren. Keinginannya inilah yang membuatnya terus belajar dan mencari peluang agar mimpinya dapat terwujud. Beruntung baginya, Arul menemukan KL-YES. “Soalnya, paling bergengsi, sih. Karena, kan, langsung dari Pemerintah AS, jadi fully funded, bahkan kita dikasih uang bulanan,” ungkapnya saat ditanya kenapa memilih KL-YES ketimbang program exchange lainnya.
‘Perjalanan’ menuju AS tidaklah mudah. Ada banyak tahapan seleksi yang harus ia jalani selama kurang lebih satu tahun. “Aku sebenernya juga masih ngga ada ekspektasi apapun. Jalani seleksi yaa jalani aja,” ujarnya. Meskipun tak punya harapan tinggi, baginya, tahapan seleksi juga memiliki cerita tersendiri. “Jadi kita dikarantina di Jakarta selama 3 hari 2 malam dan ga boleh pegang HP sama sekali. Di sana kita bakal diskusi bareng peserta se-Indonesia dan diwawancara sama kedutaan AS langsung.”
Saking tak punya ekspektasi berlebih, Arul merasakan perasaan yang aneh saat pertama kali menginjakkan kaki di AS. Segalanya terasa asing. Seakan ia terlahir kembali dan harus beradaptasi dengan lingkungan, keluarga, bahasa, bahkan teman-teman baru di sana. “Ini bukan mimpi lagi, sih. It is bigger than dream,” katanya.
Kekagetan itu lama-lama memudar saat ia menyadari bahwa host family, teman-teman, dan lingkungan sekolahnya sangat suportif serta menjunjung respek yang tinggi terhadap sesama. Arul mengungkapkan bahwa keluarga dan lingkungannya di Indonesia memiliki anggapan-anggapan yang cenderung negatif tentang Amerika. Pengalamannya di sana menunjukkan ternyata tak sepenuhnya anggapan itu benar. Ia menyadari ada banyak hal yang tak sepantasnya digeneralisasi sebagai karakter buruk Amerika Serikat.
Anggapan yang sering Arul dengar ialah soal karakter warga Amerika yang individualis. Arul mengakui bahwa memang benar ada sisi individualis pada lingkungannya. Namun, hal tersebut dimaknai secara positif. Ia mengartikan individualis yang dimaksud ialah bertindak sesuai kehendak dan tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Sifat individualis ini bahkan tidak menafikan adanya perilaku gotong royong. “Party tu ga selamanya minum-minum (mabuk) aja. Tapi, juga ada gotong royongnya, tu lho. Kaya family party, antar tetangga saling bantu dan bertukar makanan gitu,” ungkapnya. “Apa yang kita lihat soal New York itu sebenernya cuma bagian perkotaannya aja. Jadi, mereka ngeliat sifat-sifat individualis yang sebenernya di Indonesia pasti juga ada. Padahal, di kota-kota kecilnya gotong royong masih dijunjung tinggi.”
Sebagai pelajar, rasanya tidak afdal kalau ia tak berkomentar soal pendidikan di AS. Secara umum, perbedaan pasti ada pada kualitas pendidikan di AS dan Indonesia. Dalam beberapa hal, Arul menyoroti sesuatu yang tidak sebenarnya diketahui oleh orang-orang Indonesia. “Di sini, pendidikan itu gratis dan tiap daerah punya central school-nya masing-masing, kaya sekolah negeri gitu tapi jadi satu dari SD — SMA.” Arul juga melihat bagaimana ia sekolah juga bukan sekadar belajar teori. Menurutnya, peran aktif siswa di sekolah membuat setiap pelajaran menjadi menarik. Sistem moving-class juga didukung dengan fasilitas tiap kelas yang memadahi. Arul berkomentar soal itu,”jadi, missal nih, kelas sejarah. Kelas itu bakal ada foto-foto George Washington, deretan presiden AS dari awal sampai sekarang. Jadi, suasananya mendukung banget buat belajar.”
“Kata orang-orang kita kan,’wah mereka enak yaaa, ga ada tugas’. Kata siapa?!”, tegasnya. Arul mengatakan bahwa ia tidak luput dari sibuknya tugas. Pagi hingga sore ia habiskan di sekolah, baik di dalam kelas maupun latihan ekstrakurikuler. Arul bercerita bahwa ia selalu mendapatkan tugas setiap harinya. Namun, dengan suasana kelas yang mendukung, ia merasa pembelajaran lebih dipahami dan menyenangkan. Dengan itu, tugas-tugas yang diberikan tidak sebegitu membebani para pelajar di sana.
Sebagai muslim, Arul bercerita bagaimana ia beradaptasi dengan lingkungannya. Menjadi minoritas pastinya tak mudah untuk menjalani kehidupan. Kesulitannya ini berubah ketika orang-orang di sekitarnya menghargai apa yang Arul percaya. “Aku kalo shalat zuhur biasanya di UKS-nya sekolah, itupun sembunyi-sembunyi. Tapi, nurse di sana ngerti kalo aku muslim. Dia tahu dan ngehargain aku,” katanya. Soal makanan, keluarga tuan rumah dan teman-temannya turut memahami makanan yang tidak boleh Arul makan. Beberapa kali ia pergi ke restoran, keluarganya selalu memesan makanan yang bebas dari alkohol dan babi.
Cerita-cerita di atas adalah realita yang terjadi hampir 2 tahun lalu. Waktu berjalan dan kini Arul masih berkutat dengan gapyear karena ia memutuskan untuk tidak kuliah dulu seusai lulus SMA. Jarak waktu yang lama itu tidak membuatnya lupa akan pengalaman yang didapat di negeri seberang. “Exchange tu sebenernya cuma 10% aja efeknya, sisanya bakal dirasain setelah pulang dari AS,” ujarnya. Arul mengakui bahwa ada banyak pola pikir dan cara memandang yang berbeda. Perubahan ini ia yakini sebagai sebuah perkembangan diri yang sangat berharga untuk masa depannya kelak.