Retweet adalah Star Syndrome Ringan
Ditulis tanggal 13 Mei 2020 #Pindahan
Apakah memakai Twitter sejak 2 tahun lalu bisa disebut ‘anak lama’ ? Hmm, entahlah. Agaknya terlalu dini mengatakannya dengan dasar intensitas log in yang cukup sering.
Singkat saja, saya akhir-akhir ini sedikit resah dengan fitur retweet di Twitter. Sejujurnya, ada keresahan pada media sosial secara umum. Ini berawal setelah saya menonton video di kanal Deddy Corbuzier yang berbincang dengan Nadiem Makarim. Yap, Bapak Mendikbud. Dari pembicaraan ngalor-ngidul yang berjalan sekitar 30-an menit, saya paling memperhatikan bahasan media sosial. Poin pentingnya adalah, penggunaan media sosial yang awalnya adalah ruang berbagi, kini berubah menjadi ruang rekognisi sosial. Akhirnya, terjadilah gangguan pada kesehatan mental. Dan ini terjadi secara massal.
Sebagai pengguna di berbagai medsos, saya jelas merasa tersentil. Ada beberapa gangguan yang pernah saya alami. Dalam konteks Instagram, Bang Nadiem bilang kebiasaan seperti pikir jero buat upload dan ngitungin jumlah likes itu tidak baik buat kesehatan mental. Kalaupun saya masukkan ke dalam konteks Twitter, tentu akan sangat bersinggungan dengan fitur retweet. Pahitnya, saya masih merasakan gangguan itu hingga sekarang.
Retweet adalah fitur yang adiktif. Kata-kata bijak atau hal paling relate dengan kehidupan adalah modal yang cukup meyakinkan untuk mempertebal pengakuan sosial. Dengan itu, para pengikut seolah secara serentak mengatakan “Anjirr, bener juga lo!”, lalu menunjukkan pada orang lain bahwa Anda sedang membicarakan hal yang sangat penting dan perlu mereka ketahui. Sekarang, Anda dapatkan pengakuan itu sebagai buah tweet Anda, dan akan terus melakukannya hingga menyadarinya bahwa itu sangat mencandu. Ya. Menyeramkan sekali. Lebay amat. Intinya seperti itu.
Saya katakan star syndrome ringan karena angka retweet menumbuhkan kebanggaan tersendiri, meskipun dosisnya sangat kecil. Saya tentu menganggap tumbuhnya rasa bangga karena retweet itu sebagai sesuatu yang wajar. Namun, perasaan tersebut harus dikontrol agar tidak overdose dan menjadi candu.
Tidak ada maksud saya untuk menggeneralisir. Ini murni apa yang saya rasakan. Toh, penggunaan fitur retweet bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Kalaupun mengalami hal yang sama, semoga kita sama-sama bisa kembali seperti semula. Sekian.